Sabtu, 05 Desember 2009

FIQH SHOLAT

Mengapa cara shalat kita beda?
by M Shodiq Mustika

Alkisah, seorang pemuda Madura datang ke Yogyakarta. Ia menempuh studi lanjut, berkuliah di kota pelajar ini. Dijumpainya, cara shalat teman-temannya berlainan. Kenyataan ini agak mengejutkan baginya. Di kampung asalnya, semua orang bersholat dengan cara yang “sama”, patuh mengikuti petunjuk sang kyai.
Tapi di Jogja, cara salat kyai (ulama) tidak sepenuhnya diikuti oleh umatnya. Selain itu, kyai-nya pun macam-macam. Bukan hanya dari NU, melainkan juga Muhammadiyah, Tarbiyah (PKS), HTI, Syiah, Ahmadiyah, dan masih banyak lagi yang lainnya. Jadilah sang pemuda Madura menjumpai aneka macam cara shalat di Jogja. Ia pun bertanya-tanya: Shalat kita beda???
Ia mempertanyakan cara shalat yang diajarkan oleh empat madzhab utama (Hanafi, Hanbali, Maliki, Syafi’i), juga Muhammadiyah dan NU serta lainnya. Ia bertanya-tanya: Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang hidup sebelum munculnya berbagai mazhab atau aliran itu? Salahkah?
Lantas, sang pemuda menyarankan kita untuk menjadikan buku Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sifat Shalat Nabi, sebagai satu-satunya rujukan. Dengan demikianlah menurut dia, shalat kita akan menjadi benar dan tidak beda lagi. Begitulah katanya.
Tanggapan M Shodiq Mustika:
Aku juga merekomendasikan buku al-Albani tersebut. Kualitasnya luar biasa. Namun aku juga merekomendasikan buku-buku lain yang juga berkualitas.
Aku memahami kerinduan sang pemuda yang menginginkan cara shalat kita sama persis (disamping benar). Hanya saja, apakah Allah dan Rasul-Nya mengharapkan kita bershalat dengan cara yang sama persis?
Nabi saw. bersabda, “Bershalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku bersahalat!”
Perhatikanlah bahwa yang disabdakan bukanlah bershalatlah “sebagaimana Nabi bershalat”, melainkan “sebagaimana kalian melihat” Nabi bershalat. Nah, apabila cara lihat (atau sudut pandang) kita berbeda dalam melihat cara Nabi bershalat, bukankah ini akan menghasilkan cara shalat yang berlainan pula diantara kita?
Kalau pun cara lihat kita sama persis, cara shalat kita pun belum tentu sama persis. Untuk contoh penjelas, marilah kita gunakan sudut pandang al-Albani terhadap cara shalatnya Nabi saw. Satu contoh saja dulu, ya!
Satu contoh: Bagaimanakah Nabi mengangkat tangan dalam kaitannya dengan takbir? Menurut sudut pandang al-Albani di buku tersebut, “Terkadang Nabi mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan ucapan takbir, terkadang sesudah ucapan takbir, dan terkadang pula sebelum ucapan takbir.”
Nah, satu contoh saja sudah menunjukkan adanya tiga cara yang berlainan dalam shalat kita, bahkan walaupun sudut pandangnya sama, apalagi bila berbeda. Itu baru satu unsur shalat. Belum lagi unsur-unsur lainnya. (Pada unsur-unsur lainnya, al-Albani juga mengemukakan berbagai perbedaan cara shalat Nabi.)
Oleh karena itu, seharusnya kita tidak perlu memaksakan diri atau pun orang lain untuk bershalat dengan cara yang sama persis alias seragam. Marilah kita terima kenyataan bahwa perbedaan cara shalat kita itu sah, sama-sama islami, asalkan sama-sama sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Oke?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar